Jumat, 03 April 2015

selimut tuhan

Selimut tuhan

Ø Cita-cita
6 bulan setelah kelahiran putri sulung ku Devi. Ku memutuskan untuk mencari nafkah di negri  orang,Malaysia. Kepergian ku disana mengikuti saudara istri ku yang katanya masyur berlimang harta. Saat itu ku bercita-cita membelikan istri ku sebuah kalung. Dengan niat itu ku berangkat ke Malaysia tanpa modal apapun. Ku beranikan diri untuk keluargaku. Demi anak ku. Sesampaiku disana ku mulai bekerja awalnya dua hari,dua malam tak setetes tak sesuap nasi pun yang mengatasi dahaga dan lapar ku, padahal sehari sampai dua kali baju yang kupakai ini ku peras menghapus keringat yang menemani setiap harinya.
Ø Buaya sungai dan keisengan kami
Berbulan-bulan ku disana bersama kawan-kawan seperjuangan ku. Juppi,pudding,rammang, dan durus. Merekalah teman-teman seperjuangan ku. Melupakan derita sejnak, suatu hari salah satu teman ku iseng-iseng membuang kotorannya pada sungai dekat tempat tinggal kami padahal kami tau di sungai itu terdapat buaya,tak ada penduduk yang berani mengotori sungai itu,bahkan mencuci piring pun tak ada yang pernah. ketika ia membuang kotoran, kami hanya melihat buaya sungai itu marah karna ulah dari teman kami itu.
Hari itu kami iseng kembali, aku dan teman-teman ku melihat monyet di tengah sungai, kami semua masuk kesungai dan melempari monyet itu dengan batu. Sungguh lucu. Tapi sepulang kami,menuju tepi sungai, teman kami yang paling belakang,durus, tenggelam. Kami hanya mampu melihat karna tak bisa dan takut untuk kembali kesungai itu. “mak!!!,,, allea(ibu!!!,,, ambill/tolong aku)” teriak durus berulag-ulang kali. Hingga ia tak Nampak lagi di permukaan. Durus tenggelam. Beberapa lama kemudian durus kembali kepermukaan nempaknya ia berdiri diatas tubuh buaya, karna durus tak bisa berenang lagi, kami melemparkan ban padanya kemudian menariknya kepermukaan. 2 minggu durus sakit sejak kejadian itu.
Ø  Butuh perjuangan
Berbulan-bulan kami tidak di gaji oleh suami dari ipar ku. Malam itu semua kawan-kawan ku memutuskan untuk melarikan diri, tapi aku tetap di tempat itu untuk menunggu keluarga menjemputku. Kawan-kawan ku pun pergi kami berpisah begitu haru, tak sanggup rasanya untuk berpisah. Namun, kami harus melanjutkan hidup. Semakin lama mereka tak terlihat dari pandangan lagi. Ku melihat rumah yang kami tinggali, aku naik kerumah dan menyalakan lampu melihat skali lagi keadaan rumah itu, tergambar seribu duka dan secerca suka yang kami lewati. Setelah itu aku memutuskan untuk berjalan melewati hutan malam itu, kebetulan beberapa kilometer dari tempat tinggal ku ada sebuah rumah yang penghuninya orang timur, aku pun naik kerumah itu dan menunggu keluargaku di rumah itu, rumah itu sangat bau, seperti bau bangkai betapa tidak orang ini sudah terbiasa memakan ular jika tak adaa makanan lagi.
Aku terus menunggu keluargaku di sini sambil berbincang sedikit dengan orang timur berkulit hitam ini. Selang beberapa jam keluargaku datang dan membawaku pergi, matahari sudah terbit, sai’ keluargaku ini kemudian mengarahka ku untuk menunggunya di pohon di ujung pandangan kami. Aku pun mengikuti perintahnya, aku berjalan menyusuri semak, hingga sampai kepohon itu. Sesampainya di pohon itu aku beradar dan melepas penat, haus dan lapar itu yang ku rasakan, di dekat pohon itu ada aliran air kecil dan sangat keruh. Aku berbaring dan meminum air itu. “ya allah.. semoga aku bisa hidup”. Sai’ pun datang membawa dua bungkus nasi dan sebotol air minum, ia brjalan dengan parang yang terikat di pinggangnya. Kami melepas lapar dan dahaga. Setelah itu kami melanjutkan perjalan.
Ø Malaikat turun dari langit,
 ketika ada orang sudi menolong kami. Ku sangka itu adalah malaikat. Setelah beberapa kali kami mencoba menghentikan 3 mobil pengangkut  kelpa sawit, namun hanya mobil ini yang mau berhenti. Ternyata pengemudi ini berasal dari kampong halaman yang sama. Orang itu membantu dengan ikhlas dan tulus, sai’ meraba kantong celananya dengan alasan mau memberikan tanda terimah kasih, namun orang itu langsung menolak. “seandainya ada uang ku saya yang bantu ki,,,”. Begitu leganya perasaan ku, karna memang sebenarnya sai’ ini tak memiliki uang, apalagi dengan ku.
Setelah sampai di tempat sai’ aku pun mulai bekerja, berhari-hari, berbuln-bulan aku pun memiliki uang dari hasil usaha ku, berbeda dengan ipar ku yang tak pernah membayar ku atas kerja kerasku. Saat itu ku telah memegangi uang di tangan ku senilai 300 ringgi, yang ku pikirkan di kepalaku hanya pulang dan ulang, aku ingat saat sebelum ini sai’ tak mengisinkan ku untuk bermalas-malasan karna jika aku bermalas-malasan aku tak akan pulang, begitu katanya.

Setelah ongkos pulang ku cukup aku kembali ke Indonesia di kampong halaman ku, bantaeng, Sulawesi selatan. Walau keluarga ku menangisi kepergian ku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar