![]() |
Ø Cita-cita
6 bulan setelah kelahiran putri sulung ku
Devi. Ku memutuskan untuk mencari nafkah di negri orang,Malaysia. Kepergian ku disana mengikuti
saudara istri ku yang katanya masyur berlimang harta. Saat itu ku bercita-cita
membelikan istri ku sebuah kalung. Dengan niat itu ku berangkat ke Malaysia
tanpa modal apapun. Ku beranikan diri untuk keluargaku. Demi anak ku.
Sesampaiku disana ku mulai bekerja awalnya dua hari,dua malam tak setetes tak
sesuap nasi pun yang mengatasi dahaga dan lapar ku, padahal sehari sampai dua
kali baju yang kupakai ini ku peras menghapus keringat yang menemani setiap
harinya.
Ø Buaya sungai dan keisengan
kami
Berbulan-bulan ku disana bersama kawan-kawan
seperjuangan ku. Juppi,pudding,rammang, dan durus. Merekalah teman-teman seperjuangan
ku. Melupakan derita sejnak, suatu hari salah satu teman ku iseng-iseng
membuang kotorannya pada sungai dekat tempat tinggal kami padahal kami tau di
sungai itu terdapat buaya,tak ada penduduk yang berani mengotori sungai
itu,bahkan mencuci piring pun tak ada yang pernah. ketika ia membuang kotoran,
kami hanya melihat buaya sungai itu marah karna ulah dari teman kami itu.
Hari itu kami iseng kembali, aku dan
teman-teman ku melihat monyet di tengah sungai, kami semua masuk kesungai dan
melempari monyet itu dengan batu. Sungguh lucu. Tapi sepulang kami,menuju tepi
sungai, teman kami yang paling belakang,durus, tenggelam. Kami hanya mampu
melihat karna tak bisa dan takut untuk kembali kesungai itu. “mak!!!,,,
allea(ibu!!!,,, ambill/tolong aku)” teriak durus berulag-ulang kali. Hingga ia
tak Nampak lagi di permukaan. Durus tenggelam. Beberapa lama kemudian durus
kembali kepermukaan nempaknya ia berdiri diatas tubuh buaya, karna durus tak
bisa berenang lagi, kami melemparkan ban padanya kemudian menariknya
kepermukaan. 2 minggu durus sakit sejak kejadian itu.
Ø
Butuh perjuangan
Berbulan-bulan kami tidak di gaji oleh suami dari ipar ku.
Malam itu semua kawan-kawan ku memutuskan untuk melarikan diri, tapi aku tetap
di tempat itu untuk menunggu keluarga menjemputku. Kawan-kawan ku pun pergi
kami berpisah begitu haru, tak sanggup rasanya untuk berpisah. Namun, kami
harus melanjutkan hidup. Semakin lama mereka tak terlihat dari pandangan lagi.
Ku melihat rumah yang kami tinggali, aku naik kerumah dan menyalakan lampu
melihat skali lagi keadaan rumah itu, tergambar seribu duka dan secerca suka
yang kami lewati. Setelah itu aku memutuskan untuk berjalan melewati hutan
malam itu, kebetulan beberapa kilometer dari tempat tinggal ku ada sebuah rumah
yang penghuninya orang timur, aku pun naik kerumah itu dan menunggu keluargaku
di rumah itu, rumah itu sangat bau, seperti bau bangkai betapa tidak orang ini
sudah terbiasa memakan ular jika tak adaa makanan lagi.
Aku terus menunggu keluargaku di sini sambil berbincang sedikit
dengan orang timur berkulit hitam ini. Selang beberapa jam keluargaku datang
dan membawaku pergi, matahari sudah terbit, sai’ keluargaku ini kemudian
mengarahka ku untuk menunggunya di pohon di ujung pandangan kami. Aku pun
mengikuti perintahnya, aku berjalan menyusuri semak, hingga sampai kepohon itu.
Sesampainya di pohon itu aku beradar dan melepas penat, haus dan lapar itu yang
ku rasakan, di dekat pohon itu ada aliran air kecil dan sangat keruh. Aku
berbaring dan meminum air itu. “ya allah.. semoga aku bisa hidup”. Sai’ pun
datang membawa dua bungkus nasi dan sebotol air minum, ia brjalan dengan parang
yang terikat di pinggangnya. Kami melepas lapar dan dahaga. Setelah itu kami
melanjutkan perjalan.
Ø Malaikat turun dari langit,
ketika ada orang sudi menolong kami. Ku sangka
itu adalah malaikat. Setelah beberapa kali kami mencoba menghentikan 3 mobil
pengangkut kelpa sawit, namun hanya
mobil ini yang mau berhenti. Ternyata pengemudi ini berasal dari kampong
halaman yang sama. Orang itu membantu dengan ikhlas dan tulus, sai’ meraba
kantong celananya dengan alasan mau memberikan tanda terimah kasih, namun orang
itu langsung menolak. “seandainya ada uang ku saya yang bantu ki,,,”. Begitu
leganya perasaan ku, karna memang sebenarnya sai’ ini tak memiliki uang,
apalagi dengan ku.
Setelah sampai di tempat sai’ aku pun mulai bekerja,
berhari-hari, berbuln-bulan aku pun memiliki uang dari hasil usaha ku, berbeda
dengan ipar ku yang tak pernah membayar ku atas kerja kerasku. Saat itu ku
telah memegangi uang di tangan ku senilai 300 ringgi, yang ku pikirkan di
kepalaku hanya pulang dan ulang, aku ingat saat sebelum ini sai’ tak
mengisinkan ku untuk bermalas-malasan karna jika aku bermalas-malasan aku tak
akan pulang, begitu katanya.
Setelah ongkos pulang ku cukup aku kembali ke Indonesia di
kampong halaman ku, bantaeng, Sulawesi selatan. Walau keluarga ku menangisi
kepergian ku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar